Dalam beberapa waktu terakhir, kita kerap kali disuguhi dengan fenomena yang dikenal sebagai ‘pinjam dulu seratus’ dalam berbagai postingan dan konten di media sosial, seringkali menjadi bahan meme. Meminjamkan uang kepada teman atau keluarga adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang sering kita alami.
Namun, kalimat “pinjam dulu seratus” sering kali menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang, karena seringkali uang yang dipinjamkan tidak kunjung dikembalikan oleh peminjamnya. Lebih dari sekadar transaksi keuangan biasa, “pinjam dulu seratus” sering kali menimbulkan masalah hutang-piutang yang menuai konsekuensi hukum dalam pandangan Islam. Oleh karena itu, kita perlu memahami bagaimana Islam memandang masalah hutang ini dan apakah dalam Islam diperbolehkan untuk melakukan ‘pinjam dulu seratus’ ?.
Bolehkah ‘Pinjam Dulu Seratus’ Dalam Islam ?
Dalam ajaran Islam, hukum utang-piutang pada dasarnya diizinkan. Bahkan, memberikan utang atau pinjaman kepada seseorang yang sangat membutuhkannya adalah tindakan yang dianjurkan dan dihargai, karena terdapat pahala besar dalam perbuatan tersebut. Dalam Islam, terdapat dalil yang mendasari diperbolehkannya berhutang, seperti yang tertera di bawah ini :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al Maidah/5: 2)
Ayat ini menegaskan pentingnya kerjasama dan saling tolong-menolong di antara sesama manusia, karena kita sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan bantuan dan dukungan satu sama lain dalam kehidupan ini. Meskipun niat baik dan ikhlas dalam tolong-menolong adalah tindakan yang mulia, terkadang situasi ini dapat menimbulkan potensi permasalahan di masa mendatang. Allah telah memberikan peringatan tentang hal ini dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 282 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya pencatatan dalam setiap transaksi sebagai bukti yang jelas bagi pihak yang terlibat. Dalam konteks zaman modern ini, seringkali kita menyaksikan permasalahan yang timbul karena ketidakadaan bukti tertulis dalam transaksi, yang kemudian memicu sengketa antara pihak-pihak yang terlibat.
Keberadaan bukti tertulis ini sangat penting karena dapat menghindarkan potensi penyangkalan dan memastikan keadilan dalam bertransaksi. Terkadang, situasi ini mungkin dimanfaatkan oleh salah satu pihak untuk keuntungan pribadi, yang pada akhirnya merugikan pihak lain. Oleh karena itu, prinsip catatan transaksi sebagai pegangan yang sah tetap relevan dan sangat penting dalam menjalani kehidupan bertransaksi yang adil dan berintegritas.
Konsep Hutang dalam Islam
Dalam agama Islam, konsep hutang memiliki peran penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial umat Muslim. Hutang dalam Islam, yang dikenal sebagai “qard,” adalah perjanjian pinjaman antara dua pihak di mana satu pihak memberikan sesuatu kepada pihak lain dengan kesepakatan untuk mengembalikan barang atau uang yang dipinjamkan pada waktu yang ditentukan tanpa tambahan bunga. Dalam konteks Islam, ada beberapa prinsip penting yang terkait dengan hutang:
- Tanpa Bunga (Riba): Salah satu perbedaan utama antara hutang dalam Islam dan konsep hutang konvensional adalah bahwa hutang dalam Islam tidak mengandung unsur bunga atau riba. Riba dilarang keras dalam Islam, dan pemberian atau pengambilan bunga sebagai tambahan atas hutang merupakan pelanggaran hukum Islam.
- Kewajiban Kepatuhan: Pihak yang meminjam (debitur) diharapkan untuk mematuhi perjanjian hutang dan mengembalikan jumlah yang dipinjamkan sesuai dengan kesepakatan. Kepatuhan terhadap kewajiban hutang adalah salah satu nilai moral yang dijunjung tinggi dalam Islam.
- Tidak Memaksakan Hutang: Islam juga mengajarkan bahwa tidak boleh memaksakan hutang kepada orang lain. Seseorang harus meminjam atau memberi pinjaman secara sukarela dan hanya jika mampu untuk mengembalikannya. Tidak boleh memanfaatkan kebutuhan atau kelemahan orang lain untuk memaksa mereka berhutang.
- Keadilan dan Keseimbangan: Hutang dalam Islam harus dilakukan dengan keadilan dan keseimbangan. Pembagian hutang harus adil, dan pengembalian hutang tidak boleh memberatkan debitur. Jika ada kesulitan dalam pengembalian, pihak yang memberi hutang diharapkan untuk memberikan kelonggaran.
Dalam rangka memahami hukum dan prinsip-prinsip hutang dalam Islam, umat Muslim harus menghindari riba dan menjalankan prinsip-prinsip moral serta etika yang diajarkan oleh agama mereka. Hutang dalam Islam bukan hanya masalah finansial, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral dan tanggung jawab yang tinggi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
“Pinjam Dulu Seratus” Tanpa Itikad Bayar, Ini Peringatan Keras Rasullullah!
Meskipun berhutang dalam Islam diperbolehkan, namun berhutang memiliki beberapa konsekuensi yang cukup fatal jika kita melalaikan beberapa aspek. Dalam hal ini, berhutang diperbolehkan jika hanya disertai dengan kesadaran dan tanggung jawab untuk mengembalikannya. Islam bahkan memberikan peringatan keras terkait ini yang tertuang dalam beberapa hadits tentang hutang :
Orang yang meninggal dalam kondisi berhutang, jiwanya akan menggantung.
Dalam hadits riwayat Tirmidzi, Rasulullah bersabda :
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.”
Hadits ini menggambarkan bahwa hutang yang belum diselesaikan dapat menjadi beban yang menghambat perjalanan akhirat kita. Oleh karena itu, penting untuk menghindari situasi ini. Selama kita masih berada di dunia ini, adalah bijaksana untuk segera melunasi kewajiban hutang yang ada.
Baca Juga :
Kumpulan Hadits Tentang Hutang : Dosa & Larangan Sangat Nyata !
Dosa Hutang Tak Bayar Tidak Terampuni Walaupun Mati Syahid.
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)
Hutang yang dibiarkan tidak terlunasi merupakan suatu dosa yang serius dalam pandangan agama. Bahkan, meskipun seseorang mati sebagai syahid, dosa tersebut tidak akan diampuni selama hutang tersebut belum diselesaikan. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa hutang melibatkan hak harta orang lain, dan tidak mengembalikan hak tersebut sama saja dengan melakukan pengambilan yang tidak sah terhadap harta orang lain. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami dan mematuhi kewajiban membayar hutang secara penuh dan tepat waktu, demi menjaga keadilan dan integritas dalam hubungan sosial dan agama.
Orang Hutang Tak Bayar, Bisa Bangkrut di Akhirat
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah)
Hutang dapat menjadi beban berat dan dapat menghapus kebaikan-kebaikan yang telah kita kumpulkan, ketika dihisab di akhirat nanti. Hal ini sejalan dengan ajaran yang terdapat dalam hadits yang menyatakan hal tersebut. Dalam konteks ini, Islam menekankan pentingnya menjaga keadilan dan kewajiban finansial terhadap sesama manusia, serta menekankan bahwa meninggalkan dunia dalam keadaan bebas hutang adalah salah satu bentuk tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh setiap muslim.
===
Pada dasarnya, berhutang merupakan sebuah keputusan yang perlu diambil dengan penuh pertimbangan, karena dapat memiliki dampak besar pada keuangan pribadi dan keluarga. Dalam Islam, ada aturan-aturan yang mengatur berhutang, yang mengajarkan agar setiap individu memahami bahwa berhutang adalah suatu amanah yang harus dipenuhi dengan itikad baik. Oleh karena itu, saat memutuskan untuk mengatakan pinjam dulu seratus ke teman, sangatlah penting untuk merencanakan pembayaran dengan cermat, agar dapat melunasi hutang sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dan menjauhi praktik riba yang dilarang dalam ajaran Islam. Dengan melakukan hal ini, seseorang dapat menjaga keuangan mereka agar tetap sehat dan seimbang, sekaligus menjalankan kewajiban agama dengan baik.