Meskipun masih menjadi pilihan investasi tanah bagi sebagian masyarakat, tanah girik sering dihindari oleh developer karena belum memiliki sertifikat resmi. Sejauh ini, ada tiga jenis sertifikat tanah yang diakui oleh negara, yakni Sertifikat Hak Pakai (SHP), Sertifikat Hak Milik (SHM), dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Girik Tanah merupakan dokumen penting yang menegaskan kepemilikan tanah di Indonesia.
Sejarahnya mencakup masa pra-kolonial hingga era kolonial, di mana pemerintah Belanda memberikan Girik Tanah kepada pemilik tanah. Setelah kemerdekaan, Girik Tanah diakui sebagai dokumen sah yang menetapkan kepemilikan tanah, dengan proses pendaftaran yang diatur oleh regulasi hukum yang ketat. Pemegang Girik Tanah memiliki hak untuk menggunakan, menguasai, dan memanfaatkan tanah sesuai peraturan yang berlaku, serta harus mematuhi regulasi terkait penggunaan dan pemeliharaan tanah tersebut.
Apa itu Girik Tanah ?
Girik tanah merupakan bentuk dokumentasi yang digunakan untuk membuktikan pembayaran pajak pada masa lampau, bukan sebagai status kepemilikan yang sama dengan sertifikat hak pakai, SHM, atau SHGB. Namun, seiring berjalannya waktu, girik menjadi sebuah istilah yang merujuk pada tanah adat dengan status kepemilikan yang belum terdaftar secara resmi.
Meskipun dianggap sebagai bukti penguasaan atas lahan, girik tidak memiliki kekuatan hukum sebagaimana halnya tiga jenis sertifikat resmi yang telah disebutkan sebelumnya. Meskipun pemilik tanah girik diakui secara lokal, hak kepemilikannya tidak terjamin dalam sistem hukum nasional, sehingga diperlukan proses konversi untuk mengubah status tanah adat menjadi tanah bersertifikat (baik SHM maupun SHGB) agar memiliki kepastian hukum yang kuat. Proses jual beli tanah akan berjalan lancar jika tanah telah memiliki sertifikat, tetapi dapat menimbulkan masalah jika tanah tersebut belum dikonversi dan pemilik resmi telah meninggal dunia.
Perbedaan Antara Akta Jual Beli (AJB) dan Girik
Dalam proses pembelian atau penjualan properti, dua dokumen yang sering kali menjadi pusat perhatian adalah Akta Jual Beli (AJB) dan Girik. Meskipun keduanya terkait dengan kepemilikan tanah, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Artikel ini akan membahas perbedaan antara AJB dan Girik, kekuatan hukum dari surat Girik, apakah surat Girik masih berlaku, dan berapa lama proses konversi dari Girik menjadi sertifikat.
Apa Bedanya Akta Jual Beli (AJB) dan Girik ?
- Akta Jual Beli (AJB):
- AJB adalah dokumen resmi yang mencatat transaksi jual beli properti antara penjual dan pembeli.
- Dibuat di hadapan notaris atau pejabat yang berwenang untuk mengesahkan transaksi tersebut.
- Menguraikan detail properti yang diperjualbelikan, harga, syarat-syarat, dan ketentuan lainnya yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
- Setelah ditandatangani oleh kedua belah pihak dan disahkan oleh notaris, AJB menjadi bukti sah atas kepemilikan properti.
- Girik:
- Girik adalah dokumen yang menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh pejabat atau instansi yang berwenang di daerah setempat.
- Girik tidak sama dengan sertifikat, tetapi merupakan bukti hak atas tanah yang dimiliki oleh pemegang Girik.
- Girik biasanya diterbitkan untuk tanah-tanah yang belum memiliki sertifikat atau belum proses sertifikasi.
Berikut adalah tabel perbedaan antara Akta Jual Beli (AJB) dan Girik
Kriteria | Akta Jual Beli (AJB) | Girik |
---|---|---|
Bentuk Dokumen | Berupa akta notaris | Berupa surat bukti tanah |
Legalitas | Memiliki kekuatan hukum yang kuat dan sah di mata hukum | Memiliki kekuatan hukum yang terbatas, biasanya hanya sah di lingkungan tertentu |
Penerbitan | Diterbitkan oleh notaris | Diterbitkan oleh pejabat pertanahan setempat |
Isi Dokumen | Memuat detail transaksi jual beli properti, termasuk identitas penjual, identitas pembeli, deskripsi properti, harga, dll. | Biasanya berisi informasi dasar tentang pemilik tanah, luas tanah, dan batas-batas tanah |
Tujuan Penggunaan | Digunakan sebagai bukti kepemilikan properti yang sah dan untuk melakukan proses pendaftaran kepemilikan tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) | Digunakan sebagai bukti sementara kepemilikan tanah dan untuk keperluan administrasi dalam lingkungan tertentu, seperti pemberian izin atau pengurusan pajak |
Proses Pembuatan | Melibatkan proses legal dan administrasi yang lebih kompleks, termasuk penandatanganan di hadapan notaris, verifikasi dokumen, dan registrasi di BPN | Proses pembuatan lebih sederhana dan biasanya hanya memerlukan pengisian formulir dan verifikasi data oleh pejabat pertanahan setempat |
Biaya | Biaya pembuatan yang lebih tinggi karena melibatkan jasa notaris dan biaya administrasi pendaftaran di BPN | Biaya pembuatan yang relatif lebih rendah karena tidak memerlukan jasa notaris dan proses pendaftaran di BPN |
Tabel di atas memberikan gambaran perbedaan antara Akta Jual Beli (AJB) dan Girik dalam konteks kepemilikan properti di Indonesia.
Apakah Surat Girik Kuat di Mata Hukum ?
Surat Girik tanah memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk menunjukkan bukti kepemilikan tanah, terutama di tingkat lokal atau dalam transaksi informal. Namun, dalam transaksi yang lebih formal atau dalam perselisihan hukum yang kompleks, sertifikat tanah umumnya dianggap sebagai bukti kepemilikan yang lebih kuat oleh pengadilan.
Apakah Surat Girik Masih Berlaku ?
Surat Girik masih berlaku sebagai bukti kepemilikan tanah, terutama jika belum ada sertifikat yang dikeluarkan untuk tanah tersebut. Namun, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan meningkatkan kejelasan kepemilikan, proses konversi dari Girik ke sertifikat sering dianggap perlu.
Berapa Lama Proses Konversi dari Girik ke Sertifikat ?
Proses konversi dari Girik ke sertifikat bisa memakan waktu yang bervariasi tergantung pada regulasi dan prosedur yang berlaku di daerah setempat. Biasanya, proses ini melibatkan pengajuan dokumen dan pembayaran biaya administrasi kepada instansi yang berwenang, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Indonesia. Proses ini bisa memakan waktu beberapa bulan hingga lebih dari setahun, tergantung pada kompleksitas dan volume pekerjaan yang harus diselesaikan oleh instansi terkait.
Dengan memahami perbedaan antara AJB dan Girik serta memperhitungkan kekuatan hukum dan proses konversi yang terlibat, pemilik properti dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak kepemilikan mereka secara efektif.
Proses Konversi Girik Menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM)
Untuk mengubah status girik menjadi SHM, terdapat dua tahapan penting yang harus dilalui melalui proses administrasi di kantor kelurahan dan kantor pertanahan. Berikut adalah langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengurus konversi girik menjadi SHM.
1. Pengurusan di Kelurahan Lokal
Pertama-tama, langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengunjungi kelurahan setempat untuk mengurus beberapa dokumen yang diperlukan sebelum melangkah ke kantor pertanahan. Berikut adalah dokumen yang harus Anda persiapkan :
- Surat Keterangan Tidak Sengketa : Dokumen ini diperlukan sebagai bukti bahwa tanah yang hendak dikonversi bukanlah tanah yang sedang dalam sengketa. Surat tersebut harus memiliki tanda tangan dari saksi yang terpercaya, seperti pejabat RT dan RW setempat, yang memahami sejarah kepemilikan tanah tersebut.
- Surat Keterangan Riwayat Tanah : Surat ini menjelaskan secara tertulis sejarah kepemilikan tanah dari awal pencatatan hingga saat ini. Dokumen ini sangat penting terutama jika tanah tersebut merupakan warisan yang ukurannya berubah dari generasi ke generasi.
- Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara Sporadik : Dokumen ini menegaskan bahwa Anda telah menguasai tanah tersebut secara sah sebelum mengajukan permohonan konversi. Di dalamnya akan tercantum tanggal perolehan dan cara perolehan tanah.
2. Pengurusan di Kantor Pertanahan
Setelah mendapatkan ketiga dokumen tersebut, langkah selanjutnya adalah mengunjungi kantor pertanahan sesuai dengan lokasi tanah yang dimaksud. Berikut adalah langkah-langkahnya:
- Pengajuan Permohonan Sertifikat : Datanglah ke loket untuk mengajukan permohonan sertifikat, sambil membawa dokumen asli girik, dokumen yang diperoleh dari kelurahan, serta fotokopi identitas diri dan dokumen lain yang dibutuhkan.
- Pengukuran Tanah : Setelah berkas permohonan lengkap dan mendapatkan tanda terima dokumen, petugas akan melakukan pengukuran tanah sesuai dengan batas yang ditunjukkan oleh pemohon.
- Penelitian oleh Petugas Panitia A : Tim Panitia A, yang terdiri dari petugas BPN dan lurah, akan memeriksa dan meneliti data fisik dan yuridis yang terkait dengan tanah tersebut.
- Pengumuman Data Yuridis : Hasil pengukuran akan diumumkan selama periode tertentu untuk memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan.
- Penerbitan Surat Keputusan (SK) Hak Atas Tanah : Apabila tidak ada keberatan dari pihak yang berkepentingan, Kepala Kantor Pertanahan akan menerbitkan SK Hak Atas Tanah sebagai bukti pemberian hak atas tanah.
- Pembayaran BPHTB : Setelah SK diterbitkan, Anda harus membayar BPHTB sesuai dengan NJOP dan luas tanah yang dimiliki.
- Pengambilan SHM : Setelah semua proses selesai dan sertifikat ditandatangani oleh pihak berwenang, Anda dapat mengambil SHM di kantor BPN, dan tanah girik akan resmi menjadi SHM.
Proses ini dapat memakan waktu minimal 6 bulan, tergantung pada kelengkapan dokumen yang diajukan.
Biaya Konversi Girik Menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM)
Proses konversi surat girik menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) memerlukan sejumlah biaya yang perlu diperhitungkan. Komponen biaya ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berikut adalah rincian biaya yang harus dipertimbangkan:
- Tarif Pengukuran dan Pemetaan Batas Tanah (Tarik Ukur) : Tarif untuk layanan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah akan bervariasi tergantung pada luas tanah yang dimiliki. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:
- Jika luas tanah (L) kurang dari 10 hektar (10.000 meter persegi), maka tarifnya adalah: Tu = (L/500 x HSBKu – Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pengukuran) + Rp100.000
- Tarif Panitia Penilai A (Tpa) : Tarif ini dihitung berdasarkan rumus: Tpa = (L/500 x HSBKpa – Harga Satuan Biaya Khusus panitia penilai A) + Rp350.000.
- Biaya Pelayanan Pendaftaran Tanah : Terdapat biaya pendaftaran sebesar Rp50.000.
- Biaya Transportasi, Konsumsi, dan Akomodasi (TKA) untuk Petugas Pengukur.
- Biaya Sertifikasi Tanah.
Penting untuk dicatat bahwa biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus dibayarkan sebelum sertifikat tanah diterbitkan.
Meskipun Girik Tanah memiliki peran dalam membuktikan kepemilikan tanah, kekuatan hukumnya terbatas dan belum setara dengan sertifikat resmi seperti SHM atau SHGB. Oleh karena itu, proses konversi menjadi SHM menjadi langkah yang bijak untuk memastikan kepastian hukum dalam kepemilikan tanah.
Dengan memahami perbedaan antara Girik Tanah dan sertifikat hak milik, serta melalui proses konversi yang telah dijelaskan sebelumnya, diharapkan pemilik tanah dapat melindungi hak kepemilikannya secara efektif. Melalui pemahaman ini, kita dapat mengurangi risiko hukum yang mungkin timbul di masa depan dan memastikan bahwa properti yang dimiliki terlindungi dengan baik.